Awal cerita
Andai, waktu bisa diulang. Aku tidak akan bisa menuliskan artikel ini. Tentang menerima sebuah doa yang tertunda.
Sebenarnya, Andra sudah lama minta dibikinkan adik. Begitulah bahasanya. Teringat betul, ketika Andra masih diusia 3 tahun, masih bisa aku tinggal di daycare ketika kerja. Sounding tentang adik sudah aku lakukan. Sekarang, usia Andra 7tahun lebih. Semenjak artikel ini ditulis ya.
"Bunda, aku mau adik"
Tetiba, rengekan itu keluar dari mulutnya. Berulang kali. Mungkin, jika ditotal ada 10 kali lebih. Terhitung sejak usia 5-6tahunan, tepatnya ku lupa.
Kupikir, seorang Andra bilang begitu itu guyonan. Namun, ketika di momen tertentu dia nyeletuk "iiiiii bunda, adiknya lucu. Aku mau adik", ditambah ekspresi nya yang menandakan sungguhan. "Ya allah, semoga engkau segera kabulkan". Itu yang aku do'akan.
Menata hati
Aku yang tipikal eman, sayang untuk mengeluarkan duit buat berobat. Bukan karena gak punya duit. Tapi, lebih ke prioritas. Kalau ingat itu, aku ingin menyalahkan diriku.
Ya, sejak 2021 aku mengalami kendala di area kewanitaan yang membuatku harus bersabar. Setelah melalui pengobatan alternatif dengan minum jamu, berobat ke dokter spesialis pun ke dokter umum serta ke fasilitas kesehatan umum, qodarullah mungkin waktunya aku memberanikan diri ya. Di tahun 2025awal setelah urusan duniawi ku anggap, "oke kini saatnya aku merawat diriku sendiri. Aku mau sembuh.
Disitulah, ikhtiar benar-benar ku lakukan. Mengkomunikasikan dengan suami. Dan sempat mellow, down dan hati campur aduk. Aku memberikan semangat ke diriku bahwa aku bisa sembuh. Berobat ke dokter kandungan.
Dalam proses inilah, yang membuatku harus bersabar. Pasca tindakan laser sebab rahimku menebal dengan ketebalan yang tidak wajar. Akhirnya, aku mengeluarkan duit cukup banyak untuk proses penyembuhan dan ikhtiar promil.
Sampai sekarang, Allah belum memberikan apa yang kami do'akan.
Menerima ketetapannya
Mulai dari yang menyalahkan keadaan, negatif thinking, ngebet ingin segera mengingat juga usiaku yang sudah 35 tahun. Serta pertimbangan lainnya, "pokok aku mau hamil". Mungkin doaku dengan kalimat tersebut yang terkesan memaksa Allah.
Hingga pada akhirnya, terbiasa mendapati kata "yah, garis satu, yah negatif, belum rejeki". Sampai kepada komentar dari rekan kerja " Ayo bu wind, nambah lagi, sudah waktunya ini! ".
Ingin ku berteriak " Aku ki yo wis berusaha. Tapi belum dikabulkan oleh Allah"
Yang ada, justru menambah beban. Jadinya stress sendiri. Aku juga menganggap terlalu naif ke diri sendiri. Tiap curhat ke suami, mungkin dia juga gak mau beri pressure ya. Setutuke (dalam bahasa Jawa).
Berusaha berbenah secara mindset. Ngobrol pada diri sendiri. Apakah aku belum menerima takdir, dan cenderung menyalahkan keadaan? Ya, kurang lebih begitu. Aku si mudah nethink, pun bisa sebaliknya. Tergantung sikon. Itu juga yang membuat tarik umurnya cukup susah.
Padahal, dalam ajaran islam, bersikap demikian tidak baik. Seakan tidak percaya pada takdir Tuhan.
Yang aku rasakan
Sebenarnya, aku sangat ingin banget diberi amanah momongan lagi. Coba terus sampai beruntung. Kalimat itu yang saat ini menjadi kalimat favorit diri sendiri.
Kupasrahkan sama Allah. Bantu do'akan aku ya teman. Sebab, membangun hubungan long distance marriage itu sering di bolak balikkan isi hati. Godaan juga banyak. Perkara ini, aku pasrahkan sepenuhnya pada sang raja, pemilik hati.
Diawal, memilih menikah sama suami karena sudah melewati proses istikharah. Ketika ada hantaman, kembali ke pasal satu. Ikhtiar jalur langit, memasrahkan sepenuhnya kepada Allah satu-satunya tempat berkeluh kesah dan meminta.
Teruntuk anakku Riandra, sabar ya nak. Semoga semua indah pada waktunya.






Posting Komentar
Posting Komentar