Dear My Self : Terimakasih Masa Lalu Sudah Menjadi Puzzle Kehidupanku

Dear My Self : Terimakasih Masa Lalu Sudah Menjadi Puzzle Kehidupanku

Daftar Isi

Dears my self, terimakasih untuk segala pencapaian hingga detik ini. Yang bagiku, ini adalah serangkaian menyelesaikan puzzle kehidupan yang akan selalu diuji disetiap langkah. Terimakasih masa lalu




Yes, aku bisa. 

Yes aku pasti bisa


Ketika satu hal kecil saja tidak dituntaskan, rasanya mengganjal dan akan mempengaruhi proses kehidupan selanjutnya. Ada yang pernah mengalami hal yang sama walau masalahnya berbeda ?

Aku mau berbagi dari pengalaman hidup yang tak pernah terlupakan. 


Tahun 2010, merupakan tahu berat dalam kehidupanku. Saat remaja, orangtuaku terjerat riba yang efeknya begitu besar bagi kehidupan. Waktu masih duduk di bangku SD belum nampak tanda-tanda tiang rumah akan roboh. Pemasukan dan pengeluaran masih bisa dimanage walaupun saya tidak tahu yang sebenarnya apa yang dialami oleh orangtua. Seingatku, emak bapakku menyampaikan, jika sudah waktunya tahu tak critani win". Hal ini yang aku ingat. Ketika belum cukup umur, aku mung menyimpan tanda tanya besar. 

Yang aku ingat, kakakku sering gonta-ganti motor untuk mengikuti trend. Mungkin ada yang salah dengan pola asuh yang diterapkan dari orangtuaku. Dengan mudahnya memberikan apa yang anak inginkan pada waktu itu. Namun berbeda denganku, yang ketika punya keinginan harus nahan dulu sampai orangtua punya uang baru dibelikan. Hal remeh kayak gini masih teringat, yang menghiasi masa kecilku yang menerima apa adanya. Bukan pembelaan ya, melaikan kenyataan. Yo wis, akupun ikuti nasehat orangtua. 

Namun beda dengan prestasi disekolah. Aku lebih unggul daripada kakakku. Hmm, hal begini yang sering disoroti oleh mata. Sering ada pembeda antara anak pertama dan anak kedua. Pokok, yang namanya orangtua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Apalagi dengan riwayat emaku mendidik sendiri saat kami masih kecil. Ditinggal bapak kerja wara -wiiri demi sesuap nasi. Biasa lah ya, wong ndeso yang hidup di pedesaan dengan mayoritas penghasilan menengah kebawah dan rata-rata menjadi petani kalau tidak bekerja ya tidak dapat uang.

Berada di keluarga yang notabene punya banyak tanah dan tergolong orang punya pada jamannya, membuat citra diri sedikit tenar. Bapakku dipercaya sebagai pemegang kekuasaan didesa dengan skala perangkat desa, kalau menyebutnya. Yang membuat kami juga tersoroti oleh publik. Hhhe. Lebay ya. 

Tapi, tetap saja segala aktivitas memang berpengaruh. Ndilalah emakku juga terkenal ramah dan baik Dimata banyak orang, Alhamdulillah. Ketika orangtua terkena musibah harta kekayaan yang dulu berada sekarang harus menikmati segala kesusahan yang lebih dari sebelumnya. Harta benda ludes termasuk rumah. Kala itu, aku yang juga wara-wiri bekerja dan tidak tinggal bersama orangtua membuat ku zonk memahami perkembangan dirumah. Tahu-tahu pulang merantau dari Singapura orangtua sudah hijrah ke Magelang dan nebeng hidup dirumah budheku. Kakak kandung dari emakku. Yang setelah beberapa bulan baru bisa mengontrak sendiri dengan bantuan kakakku yang diterima bekerja di Korea. Aku pulang kakakku pergi. Dimana kondisi waktu itu adekku masih kecil. Belum faham apa-apa karena usia masih TK. Bahwasanya kehidupan harus berlanjut. Dan harus diteruskan meski beban hidup begitu berat yang membuat bapakku sempat depresi dan hampir gila. Emakku yang jadi sasaran efek depresi yang menimpa bapakku. Dengan segala pengetahuan yang minim, bagaimana mensikapi bapakku yang depresi emakku tetap bertahan mendampingi. Saat tahu kekokohan iman dan hati emakku, membuat diriku meninsbahkan hidup ini untuknya "saatnya aku menjaga emakku". Aku ikut hidup di perantauan. 

Kondisi ingin banget masuk didunia perkuliahan yang memang dulu niat banget ingin kerja mengumpulkan duit buat kuliah. Yes, orangtua mengijinkan walaupun sebenarnya emakku tidak ingin aku kuliah. Kondisi keuangan berantakan dan hutang ratusan Jeti masih belum lunas. Kebaikan kakakku yang mau membantu biaya kuliahku dan usahaku untuk mencari beasiswa, Alhamdulillah mengantarkan ku menyandang gelar sarjana bimbingan konseling. Jurusan pendidikan yang sekaligus sebagai teraphy diri untuk ikhlas menerima takdir tuhan. Sekaligus perantara diri ini untuk berhijrah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Siapa sangka Windi remaja yang dulu sering bertengkar dengan bapak bahkan sampai mau dikubur hidup-hidup olehnya. Efek desakan kebutuhan dan depresi yang masih menempel dalam diri bapakku membuatku harus benar-benar memahami kondisi beliau.


Yang pada akhirnya aku bertemu dengan dosen yang jadi reminderku, bahwa sikapku salah besar. Bagaimanapun kondisinya anak tidak boleh membantah terhdap orangtua. Sekejap aku merenung dan menjadi bom besar dalam hidup ku. Ya Allah, buat apa aku pintar tapi akhlakku tak sesuai apa yang diajarkan oleh Islam? Niat dari sejak awal ketika masuk didunia perkuliahan aku ingin aktif diorganisasi dan berbuat baik sebagai penghapus dosa. Dulu akupun pernah menggalakan hijab saat merantau di Singapura. Dua tahun lamanya menahan tangis dan airmata demi dollar yang awalnya aku kena tipu dari emergency penyalur tenaga kerja keluar negeri. Orangtuaku tidak pernah tahu kalau aku menjadi domestic helper selama disana. Aku berbohong pada mereka kala itu bekerja disebuah toko roti. Maafkan aku pak, Mak.

Rasanya akupun malu dengan diri sendiri. Aku enggan menerima statusku yang menjadi babi di negara orang. Yap, wis lah itu kan masalahku. Yang membuat diri ini harus lebih berhati-hati dalam membina rumah tangga. Terimakasih masa lalu yang sudah memberi kesempatan diri ini untuk melewati masa sulit dalam kehidupan. Yang seharusnya menikmati masa remaja untuk fokus belajar, nyatanya juga harus berfikir keras mencari uang. Mengengok kebelakang, jadi bertanya pada diri ini. Nah, itu bisa ? Kamu mampu melewati semua dengan baik. Terjerumus dalam lingkungan positif yang menjadikanmu aktif dan berkontribusi pada kegiatan sosial. Urusan akademik pun kamu ungggul. Bahkan setelah kuliah pun langsung mendapat pekerjaan sesuai apa yang kau impikan. Hingga pada akhirnya menemukan jodoh dan sekarang menikmati menjadi ibu rumah tangga. Bukankah ini proses dan pencapaian yang luarbiasa win? 

Yes, afirmasi positif sangat penting dalam kehidupan. Ibarat pengerem dalam diri yang diiringi rasa syukur dan terus berdoa sama Tuhan agar kita mampu melewati ujian hidup dengan baik. Mengapresiasi diri sebagai rasa cinta terhadap diri sendiri untuk lebih berpacu lagi melakukan hal kebaikan yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Hari ini aku berterimakasih kepada masa lalu. Terimakasih ya Rab. 

Windi Astuti
Windi Astuti Fulltime mom yang suka menulis

Posting Komentar