#BersamaBergerakBerdaya Dukung Masyarakat Adat Versi Aku, Wujud Untukmu Bumiku

#BersamaBergerakBerdaya Dukung Masyarakat Adat Versi Aku, Wujud Untukmu Bumiku

Daftar Isi

Kediri, Kota paling Bahagia di Republik Indonesia

Kediri, kota paling bahagia se- Indonesia raya. Sematan baru yang aku dengar langsung dari warga asli Kediri. Salah satu kota yang menyumbang pendapatan besar, perusahaan Gudang Garam mentereng ada di kota ini. Penghasil rokok terbesar di Asia Tenggara, kawan.

Tiga tahun terakhir, semenjak kepindahan ku kesini, kudapati sentilan meresahkan bahwa produksi rokok yang bermula menggunakan tenaga manusia akan beralih ke tenaga mesin berteknologi canggih. Pabriknya megah dan sangat luas. Tak mampu aku mengukur, jika diibaratkan dengan desa kelahiranku, luasnya jauh lebih lebaran ini. 

Beberapa pabrik gudang garam yang aku lewati, nampak gagah. Mentereng di kelasnya. Untung, di sekitaran pabrik masih terlihat beberapa pohon tinggi serta tanaman yang di tanam. Aroma segar masih bisa dirasakan oleh penikmat jalan yang melewatinya. Ya, seperti aku ini, setiap pergi ke sekolah pasti melewati kawasan pabrik gudang garam.

Biasanya angin sepoi-sepoi membuatku lebih manja. Merasa kagum akan kemegahan kota Kediri, alhamdulillah sudah betah jadi warga sini. hhhe. Membuatku nyaman juga sama suami memiliki hunian di tanah rantau ini. Ya, meski sudah pindah kependudukan dan mengajar disini, merasakan betul Kediri juga cukup panas untuk sekarang.

Bersyukurnya, masih ku dapati sawah yang terbentang luas tak terhingga. Pemandangan gunung yang masih bisa kutatap lama, meski hanya dari kejauhan, ditemani sinar matahari saat terbit. Seraya bergumam, betapa indahnya kuasamu. Ingin kupeluk erat, dan merasakan betul keindahan mu di setiap waktu.
Meskipun sang kala tajam menatapmu, tak surut tanganku terentang menyambutmu - Asma Nadia-
Salah satu keinginanku, bisa tinggal di hunian yang nyaman. Sebuah desa yang masih menawarkan udara sejuk serta rentetan sawah yang bisa kupandangi tanpa bosan ketika jajaran padi bergoyang-goyang terhempas angin. Oh, indahnya desaku. Semilir angin sepoi-sepoi yang membuatku tidak merasa gerah.

Sisi lain, kekhawatiran juga turut menyelimuti, sebab belum genap 5 tahun pindah di Kediri, beberapa lahan sawah sudah berubah menjadi bangunan rumah. Bagaimana, jika banyak bangunan berdiri di beberapa tahun ke depan. Mungkin, semilirnya angin tak bisa ku rasakan seperti sekarang. Mungkin, tak bisa aku menangkap sang mentari dan gunung indah yang ku tangkap dari depan rumahku. 

Mengutip sebuah kalimat, ”Hutan adalah makanan kami, air adalah darah kami dan batu-batuan adalah tulang kami”

Sedikit cerita ketika perjalanan pertama melakukan wisata religi di Sedepok, Nganjuk. Sebelahnya kota Kediri. Bersama suami, anak serta rombongan kami menyusuri jalan terjal dengan naik sepeda motor. Bisa sekitar 2jam an menyusuri jalan berkelok untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Setengah perjalanan, kami harus memparkir sepeda motor dan menitipkan sementara hingga kami siap turun lagi.

Persis kayak naik gunung. Jalan kakipun kami tempuh, bisa sampai 5 jam proses pendakian. Semakin tinggi, semakin dingin yang dirasa. Ketika capek dan haus terasa, kami pun berhenti di beberapa pos untuk istirahat sejenak. Ketika titik puncak berhasil ditaklukkan, kami sangat senang bisa bertemu dengan beberapa orang yang lebih dulu tinggal lama disana. Bertahan hidup di atas sana, melakukan ibadah disana serta menjaga kelestarian alam yang ada. Sebagai bentuk rasa peduli, kami juga membawa dua batang pohon yang kami tanam di puncak teratas. Kalau kata Pak Dhe, kita harus percaya hukum alam. Bila kita menjaganya, alam akan menjaga kita.

sumber : google design : canva


Ternyata, Masyarakat Adat Itu Ada

Pengalaman pertama naik gunung, membuat ku takjub. Banyak hal yang aku dapat. Berawal dari itu, aku percaya bahwa mereka yang hidup di hutan telah Allah sematkan hati yang baik untuk ikut andil menjaga kelestarian hutan sebagai wujud bertahan hidup.

Bagaimana tidak, tempat yang jauh dari keramaian. Jauh dari fasilitas yang memadai. Mereka bisa makan, minum dan menghirup udara segar berkat hutan. Mereka mengibaratkan hutan sebagai sumber kekayaan alam yang menawarkan banyak sumber makanan yang bisa diolah menjadi makanan layak konsumsi. Mereka bukan menguasai, tapi ikut menjaga dan merawat bumi karena rasa cintanya terhadap bumi. Ruang hidup mereka bergantung pada hutan. Toh, mereka juga paham kok. Yang namanya merusak alam dimanapun, semesta akan berbicara dengan caranya. Bila kita merusak, itu pamali. Akan ada bahaya yang menghampiri.

Masyarakat adat, yang akhir-akhir ini aku pantau beritanya lewat layar kaca membuat ku berkata pada diri sendiri. Ibarat, sedang dalam sebuah misi perjalanan, ketika kehabisan bahan makanan dan itu tempatnya jauh dari keramaian " apa yang bakal kita lakukan untuk tetap bertahan hidup?". Mencari apa yang bisa dimakan, dan mencari sumber mata air untuk bisa kita minum airnya , ya nggak ?

Atau, ketika kita diwariskan seluas tanah, kita sebagai generasi berikutnya akankah menjual tanah yang diwariskan ? atau menjaganya hingga membuatnya menjadi lahan produktif yang turut kita jaga sebagai sumber penghidupan.

Bersumber dari laman resmi masyarakat adat telah diakui keberadaannya sejak jaman kolonial Belanda. Aku belum lahir, masyarakat adat sudah ada dan ini turun temurun akan terus ada. Keberadaannya juga sudah legal, termaktub dalam UUD 45 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Bahwa negara Indonesia mengakui adanya masyarakat adat dengan segala bentuk penghormatan untuk menghargai segala apa yang dilakukan oleh mereka.

Namun, akhir-akhir ini masyarakat adat terancam genting. Ada beberapa perusahaan yang berusaha untuk mengeksploitasi harta warisan leluhur dengan menguasai tanah warisan mereka.

Kondisi Hutan Masa Kini

hutanku Indonesia
sumber : google design : canva

Tidak hanya berhenti dari sini saja, karena rasa penasaran ingin tahu kondisi alam sebenarnya kenapa hutan kita semakin rusak ? aku mencoba menggali informasi dari salah satu saudara yang tinggal di daerah Kalimantan. 

Wilayah di dekat hutan jadi rebutan. Siapa yang berhasil mengakui, dengan dalih ini punyaku. Seluas A sampai Z. Atas nama Bapak Tunai ( sebut saja begitu ) ,aku berhak memilikinya. Siapa yang berani melawan ? yang berhasil mempengaruhi adalah pemenangnya. Karena siapapun yang berani dan berhasil menunjukkan sertifikat tanah, dialah yang berkuasa. Tak heran jika dengan tanah yang sama, pemiliknya ada banyak orang meski berganti-ganti.

Tragisnya, beberapa lahan warga juga dimanfaatkan oleh oknum yang berkuasa. Diberi modal sebagai ganti atau bagi hasil yang membuat hutan semakin gundul. Ya, dialih fungsikan untuk dijadikan ladang. Jika sudah diberi janji duit sekian, siapa yang mau menolak ?

Sudah jelas bukan, bila kondisi iklim kita sekarang juga susah di tebak. Enggak kayak jaman kita SD dulu (eh, seumuran ya ). Banyak petani yang gagal panen. Bila produksi pangan semakin sulit di dapat, otomatis bahan baku akan bertambah nilai jualnya. Enggak kebayang ya, bila alam tidak kita jaga bisa jadi akan ada kemarau panjang. Banjir, longsor dan gempa bumi lainnya. Duh, sedih ya. 

Makanya, ketika tahu sendiri bahwa kondisi hutan di Kalimantan semakin gundul salah satu foktor penyebabnya adalah karena ada oknum yang berkuasa atas lahan di sana.

Lantas, apakah kita yang lokasinya jauh dari sana cukup diam saja ? Oh, tidak. Ikut mensuarakan informasi ini juga menjadi salah satu wujud aksi. Bila suatu hari nanti ada kesempatan terhubung dengan komunitas masyarakat adat, aku ingin berkontribusi menjadi bagian dari mereka.

Ini sebagai bentuk peduli kita terhadap masyarakat adat agar RUU juga segera di sahkan oleh pemerintah. Masyarakat adat tidak boleh terdzolimi oleh pihak yang berkuasa atas tanah mereka. Untuk saat ini, hanya masyarakat adat yang dapat dipercaya sebagai pengelola hutan yang adil dan berkelanjutan.

Maka, selain beraksi melalui jalur udara dan menuliskan lewat kata, mari #BersamaBergerakBerdaya #UntukmuBumiku mulai dari rumah, dengan wujud aksi sebagai berikut :

Menjaga bumi versi aku
sumber : google design : canva

1. Membuat Pupuk Kompos Sendiri

terhitung, sejak menjasi seorang istri, aku belajar menekan sampah mulai dari rumah. Membuat kompos sendiri dari potongan sayura/kulit buah yang aku campur dengan tanah. kemudian kumasukkan dalam tong sampah hitam di area taman rumah. Awalnya cukup berat memang, bahkan aku harus berteman dengan sejenis hewan yang buatku jijik tapi lama-lama jadi terbiasa. Dalam waktu tiga hari, jadilah kompos homemade.

2. Menanam tanaman di Sekitar rumah

Lagi-lagi, aku belajar dari suami. Aktivitas menanam terus aku rawat agar bisa menghirup udara segar meski hidup di sepetak rumah. Maklum, tinggal diperumahan jika suasana hijau tak diciptakan sendiri, rumahku bakal kepanasan terus dan membuat bangunan semakin runtuh. Untungnya, ada pohon kamboja, pohon kelor, pohon sirsak dan tanaman lainnya yang tumbuh subur di depan rumah. Alhamdulillah.

3. Bawa Kantong Belanja

Terus mengupayakan untuk membawa kantong belanja sendiri. Baik belanja di pasar atau dimanapun, tas kantong berbahan kain selalu siap sedia bila sewaktu-waktu mau pergi belanja.

4. Memilah sampah

Biasanya, aku gabung dengan komunitas peduli sampah. Untuk mendapatkan informasi sampah mana yang harus diberikan ke tempat pengelolaan sampah, dan sampah mana saja yang bisa di kelola sendiri.

Soal sampah plastik dan kain, juga aku bedakan sendiri. Terhitung sudah 4 kali ini aku berkontribusi untuk mengirim sampah ke sebuah perusahaan pengolah sampah tersebut. Kirim sampah plastik ke Surabaya dan kirim baju bekas ke Bandung. Awalnya cukup terasa, karena ada biaya ongkir serta biaya penanganan yang berlaku. tapi, setelah berpikir matang, aku lebih merasa nyaman karena tidak bingung lagi mau over barang yang tidak terpakai ke siapa.

5. Membeli Kendaraan Sesuai Kebutuhan

Kendaraan, bagiku bukan sebuah investasi. Apalagi beli hanya untuk sekedar punya, mending dialokasikan untuk dana pendidikan anak. Meminimalisir kendaraan sama dengan hemat energi pun tidak menambah banyaknya polusi udara. Cukup satu motor untuk antar anak ke sekolah dan pergi ke tempat kerja.

6. Membawa bekal dan Minum di Tempat Kerja

Dari jaman kuliah, sudah niat memang. Beli botol dan kotak makan sendiri sebagai wujud hemat budget juga. Alhamdulillah, kesampaian. Bahkan sampai anak sudah sekolah juga selalu aku bawakan bekal dan minum sendiri.

Penutup

Untuk saat ini, baru enam hal di atas yang bisa kulakukan. Sebagai wujud menjaga bumi agar tetap terawat sampai nanti. Anak cucu bertambah, bumi ini bisa menjadi pijakan baik untuk menikmati hidup dengan menghirup udara segar, pikiran tenang.

Sangat bermimpi, bisa bergabung sama ecoblogger squad untuk menambah ilmu serta relasi agar aku masuk dalam lingkungan yang tepat dan bisa bergerak lebih untuk misi menjaga bumi.  “Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!”
















Referensi Terkait :

http://cakervan.blogspot.com/2017/03/menyusuri-pertapaan-sedepok_9.html?m=1
http://pskl.menlhk.go.id/berita/281-masyarakat-adat-kearifan-lokal-yang-menjaga-hutan.html
https://aman.or.id/















2 komentar

Comment Author Avatar
10/6/23 23:21 Hapus
Aku kok jdi keinget acara TV jaman dlu yg meliput suku2 pedalaman gitu ya Mba. Keren lho bsa hidup menyatu dgn alam tanpa membutuhkan teknologi. Trus smpet baca berita juga ada satu suku adat yg meminta jaringan internetnya dicabut. Bener2 luar biasa perannya dalam menjaga bumi tercinta ini yaa
Comment Author Avatar
11/6/23 05:52 Hapus
Kalau memilah sampah plastik aku udah mbak, tapi kalau buat sampah sayurannya belum. Kalau disini sampah masih pada dibakar. Padahal gak sehat buat lingkungan yaa, huhu. Keren mbak udah bisa menjaga bumi dengan baik 🤗